Budaya FOMO: Menggali Fenomena Ketakutan Tertinggal di Era Digital

MEDAN – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial, budaya FOMO (Fear of Missing Out) telah merasuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat.

FOMO bukan sekadar istilah melainkan sebuah fenomena psikologis yang menggambarkan kecemasan seseorang karena merasa tertinggal atau tidak ikut serta dalam momen-momen penting yang sedang terjadi.

Fenomena ini kian diperparah oleh kehadiran platform digital yang memungkinkan informasi dan pengalaman tersebar dengan cepat, menciptakan tekanan untuk selalu update dan terlibat dalam segala aktivitas.

Masyarakat kini semakin terikat pada layar smartphone dan media sosial, di mana setiap momen kehidupan teman, selebriti, ataupun influencer terekam secara real time.

Pengguna sering membandingkan kehidupan mereka dengan apa yang tampak glamor di feed orang lain, sehingga timbul perasaan kurang puas terhadap kehidupan sendiri. Ironisnya, meskipun tujuan awal media sosial adalah untuk membangun koneksi, intensitas FOMO justru membuat interaksi menjadi dangkal dan berujung pada isolasi emosional.

Dalam konteks sosial, FOMO tidak hanya berdampak pada kesejahteraan mental, tetapi juga mempengaruhi keputusan sehari-hari. Mulai dari pilihan dalam menghadiri acara, bergabung dalam komunitas, hingga menentukan aktivitas akhir pekan, individu yang terjebak dalam FOMO sering kali merasa tertekan untuk ikut serta meskipun minat mereka sebenarnya berbeda.

Kondisi ini bisa mengakibatkan kelelahan emosional dan stres berkepanjangan, mengingat ekspektasi untuk selalu “on” dan terlibat secara intensif.

Lebih jauh, FOMO juga menciptakan budaya konsumtif yang tidak sehat. Dalam upaya memenuhi keinginan untuk selalu mengikuti tren, banyak orang rela mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli produk atau layanan yang sedang hits.

Fenomena ini berdampak pada perekonomian mikro, di mana tekanan sosial mengubah cara pandang terhadap nilai dan kepraktisan. Ketergantungan pada validasi sosial membuat individu merasa bahwa kepuasan hidup dapat diukur dari jumlah like, komentar, atau followers, padahal kebahagiaan sejati jauh melampaui metrik digital.

Di era modern ini, strategi untuk menghadapi budaya FOMO perlu diperkuat melalui kesadaran diri dan pendidikan literasi digital. Penting bagi setiap individu untuk belajar memfilter informasi dan menentukan prioritas berdasarkan nilai-nilai personal, bukan semata-mata tekanan sosial.

Mengatur waktu dan menetapkan batasan dalam penggunaan media sosial adalah langkah awal untuk mengurangi dampak negatif FOMO. Selain itu, mendekatkan diri pada kegiatan offline yang bermakna juga dapat membantu menciptakan keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata.

Tak dapat dipungkiri, fenomena FOMO adalah cerminan dari dinamika sosial di era digital yang terus berkembang. Dengan memahami akar permasalahannya, masyarakat dapat mengembangkan strategi adaptasi yang lebih sehat dan realistis.

Membangun kesadaran kolektif bahwa setiap individu memiliki perjalanan hidup uniknya sendiri adalah kunci untuk meredam tekanan sosial dan menemukan arti kebahagiaan yang sejati di luar dunia maya.

Dengan demikian, upaya untuk mengatasi FOMO harus dimulai dari perubahan paradigma—mengutamakan kualitas hubungan dan pengalaman, daripada mengejar validasi semu yang tak berkesudahan.(RZ)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com