MEDAN – Dalam era digital yang serba terhubung, fenomena flexing atau pamer semakin sering ditemui, baik di media sosial maupun dalam interaksi langsung. Banyak orang menunjukkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup mewah sebagai bentuk eksistensi dan pengakuan sosial. Fenomena ini membawa dampak yang beragam, mulai dari sisi positif yang menginspirasi hingga sisi negatif yang dapat memicu tekanan sosial.
Di satu sisi, flexing dapat menjadi motivasi bagi banyak orang untuk bekerja lebih keras dan mencapai kesuksesan.
Melihat seseorang berbagi pencapaiannya bisa menjadi dorongan bagi orang lain untuk berusaha lebih giat. Selain itu, dalam dunia bisnis dan karier, pamer kesuksesan bisa menjadi strategi pemasaran yang efektif.
Banyak pengusaha dan profesional menggunakan flexing untuk membangun citra diri dan meningkatkan kepercayaan dari klien atau mitra bisnis.
Tidak hanya itu, banyak orang yang menikmati konten flexing sebagai hiburan. Gaya hidup mewah yang dipamerkan bisa menjadi inspirasi dalam hal tren mode, teknologi, atau pilihan gaya hidup. Dalam beberapa kasus, flexing juga membantu seseorang memperluas jaringan sosial, terutama jika mereka ingin terhubung dengan orang-orang yang memiliki kesuksesan serupa.
Namun, di balik sisi positifnya, flexing juga memiliki dampak negatif yang tidak bisa diabaikan. Salah satu efek yang paling umum adalah meningkatnya perasaan iri atau ketidakpuasan dalam diri orang lain. Melihat orang lain memamerkan kekayaan atau pencapaian bisa membuat seseorang merasa kurang sukses, yang pada akhirnya bisa berujung pada tekanan mental.
Fenomena ini juga dapat mendorong gaya hidup konsumtif dan boros. Banyak orang yang rela berhutang atau menghabiskan uang di luar kemampuan demi bisa tampil mewah dan diakui dalam pergaulan. Hal ini bisa berakibat buruk pada kondisi finansial seseorang jika tidak dikelola dengan bijak.
Selain itu, flexing dapat menciptakan kesenjangan sosial. Dalam pergaulan, mereka yang tidak mampu mengikuti tren ini mungkin merasa terpinggirkan atau kurang dihargai. Tekanan sosial yang muncul juga bisa berdampak buruk pada kesehatan mental, terutama bagi mereka yang merasa harus selalu tampil sempurna demi memenuhi ekspektasi orang lain.
Lebih dari itu, flexing yang berlebihan bisa meningkatkan risiko kejahatan. Pamer kekayaan secara terbuka, terutama di media sosial, dapat menarik perhatian orang-orang dengan niat buruk, seperti perampokan atau penipuan. Beberapa kasus kriminal terjadi karena pelaku kejahatan menargetkan korban berdasarkan unggahan yang mereka bagikan.
Fenomena flexing akan selalu ada dalam kehidupan sosial, terutama di era digital yang memungkinkan orang berbagi setiap aspek kehidupan mereka dengan mudah.
Oleh karena itu, penting untuk menyikapi flexing dengan bijak. Bagi mereka yang suka memamerkan pencapaian, ada baiknya untuk tetap memperhatikan batasan agar tidak berlebihan dan menimbulkan dampak negatif bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sementara bagi yang melihatnya, penting untuk tetap fokus pada perkembangan diri sendiri tanpa perlu merasa tertekan oleh kehidupan orang lain yang terlihat lebih mewah. Pada akhirnya, kualitas dan nilai diri jauh lebih penting daripada sekadar citra yang ditampilkan di depan publik.(RZ)