Hujan Saat Matahari Terik: Pertanda Gaib atau Proses Alamiah? Ini Penjelasan BMKG
MEDAN – Dalam sejumlah kepercayaan tradisional, turunnya hujan di tengah terik matahari sering dianggap sebagai pertanda buruk atau akan datangnya suatu peristiwa ganjil.
Namun, para ahli cuaca memiliki penjelasan yang sangat berbeda untuk fenomena yang dalam ilmu meteorologi disebut sebagai hujan konvektif ini.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa fenomena ini sama sekali bukanlah hal yang mistis, melainkan bagian dari proses dinamika cuaca yang wajar terjadi, khususnya di wilayah tropis seperti Indonesia.
Dari Keyakinan Turun-Temurun hingga Larangan Keluar Rumah
Dalam budaya Jawa, hujan panas bukan sekadar cuaca yang tidak menentu. Fenomena ini sarat dengan mitos dan kepercayaan turun-temurun. Beberapa keyakinan yang berkembang di masyarakat antara lain:
· Pernikahan Makhluk Halus: Mitos paling populer menyebutkan bahwa hujan panas adalah pertanda adanya pesta pernikahan di kalangan jin atau lelembut.
· Pertanda Perubahan Besar: Fenomena ini sering diinterpretasikan sebagai firasat akan terjadinya perubahan besar dalam masyarakat atau bahkan datangnya musibah.
· Larangan Keluar Rumah: Sebagian orang tua zaman dulu melarang anak-anak untuk keluar rumah saat hujan panas, karena dikhawatirkan akan mendatangkan sakit atau diikuti oleh makhluk halus.
Penjelasan Ilmiah: Begini Terbentuknya Hujan Konvektif
Menanggapi mitos-mitos tersebut, BMKG melalui publikasi dan penjelasannya menyampaikan analisis ilmiah yang gamblang. Seorang narasumber dari bidang prakirawan cuaca dapat menjelaskan bahwa fenomena ini dikenal sebagai hujan konvektif.
“Proses konvektif yang tinggi pada pagi hingga siang hari akibat intensitas radiasi matahari, akan menyebabkan pertumbuhan potensi hujan lokal pada sore hingga malam hari,” jelas BMKG seperti dikutip dalam sebuah publikasi.
Secara sederhana, prosesnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemanasan Permukaan: Udara di permukaan tanah menjadi sangat panas akibat terik matahari.
2. Penguapan dan Awan: Udara yang panas dan lembap ini kemudian naik dengan cepat ke lapisan atmosfer yang lebih dingin.
3. Kondensasi dan Hujan: Udara yang naik tersebut mendingin dan mengalami kondensasi, membentuk awan Cumulonimbus yang menjulang tinggi. Awan inilah yang kemudian menghasilkan hujan.
4. Sinar Matahari yang Menerobos: Hujan yang turun hanya terjadi di area yang ditutupi oleh awan tersebut. Sementara itu, di sekelilingnya, langit tetap cerah sehingga sinar matahari dapat menerobos dan menyinari tetesan hujan. Inilah yang menciptakan kesan “hujan panas”.
Fenomena Biasa di Musim Transisi
Fenomena hujan konvektif ini sangat umum terjadi di Indonesia, terutama pada saat musim peralihan (transisi).
Kondisi ini juga dapat dipicu oleh gangguan atmosfer skala regional seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby, yang dapat mendorong pembentukan awan hujan bahkan di luar musimnya.
Dengan memahami proses ilmiah di baliknya, masyarakat diharapkan dapat menyikapi fenomena “hujan panas” dengan lebih rasional.
Alih-alih dicekam kekhawatiran akan pertanda buruk, kewaspadaan justru perlu lebih ditujukan pada potensi cuaca ekstrem yang mungkin menyertainya, seperti kilat petir atau angin kencang yang datang secara tiba-tiba. (Red)