MEDAN – Di era digital seperti sekarang, satu kesalahan kecil bisa menjadi bumerang besar. Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan semakin sering terjadi di media sosial, di mana seseorang atau suatu kelompok bisa tiba-tiba diboikot, dihujat, atau bahkan dikucilkan karena pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak pantas.
Istilah ini semakin populer dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan berkembangnya platform digital yang memungkinkan opini publik menyebar dengan cepat.
Cancel culture pada dasarnya muncul sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Ketika seseorang, terutama figur publik, melakukan sesuatu yang dianggap salah—baik itu ujaran kebencian, tindakan tidak etis, atau perilaku yang dianggap melanggar norma—masyarakat digital bereaksi dengan menarik dukungan, berhenti mengikuti akun mereka, atau bahkan menyerukan boikot terhadap karya atau produk yang mereka hasilkan. Namun, meskipun berawal dari niat baik untuk menegakkan keadilan, praktik ini tidak selalu berjalan secara adil dan sering kali berujung pada perundungan massal.
Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi sasaran cancel culture. Salah satunya adalah jejak digital, di mana pernyataan atau tindakan lama seseorang di masa lalu tiba-tiba muncul kembali dan dianggap tidak relevan atau tidak pantas di masa sekarang. Selain itu, faktor lainnya adalah kekuatan opini publik yang sangat dipengaruhi oleh tren media sosial.
Satu unggahan viral saja bisa membuat seseorang langsung menjadi sorotan dan kehilangan reputasi dalam sekejap. Belum lagi adanya efek snowball, di mana semakin banyak orang yang ikut membagikan dan mengomentari suatu kasus, semakin besar pula tekanan yang diterima oleh individu yang dibatalkan.
Dampak cancel culture di kehidupan sosial pun beragam. Di satu sisi, fenomena ini dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif, mendorong orang-orang untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara.
Misalnya, kasus-kasus pelecehan atau ujaran kebencian yang sebelumnya sulit ditindak dapat lebih mudah terungkap dan mendapatkan perhatian. Namun, di sisi lain, cancel culture juga bisa berdampak negatif. Banyak individu yang mengalami tekanan mental akibat serangan bertubi-tubi dari warganet, bahkan ada yang sampai kehilangan pekerjaan atau dikucilkan dari lingkungan sosialnya.
Tak jarang juga terjadi ketidakadilan dalam cancel culture, di mana seseorang dihukum tanpa mendapatkan kesempatan untuk memberikan klarifikasi atau membela diri. Kadang-kadang, informasi yang beredar tidak sepenuhnya benar atau sudah dipotong-potong sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
Fenomena ini juga bisa menciptakan ketakutan dalam bermasyarakat, di mana orang-orang menjadi enggan untuk mengemukakan pendapat mereka karena takut disalahpahami dan “dibatalkan.”
Pada akhirnya, cancel culture adalah fenomena yang mencerminkan bagaimana masyarakat digital saat ini berperan dalam membentuk opini publik dan menegakkan norma sosial.
Namun, penting bagi kita untuk tetap berpikir kritis sebelum ikut-ikutan membatalkan seseorang. Tidak semua orang yang melakukan kesalahan pantas langsung dikucilkan, apalagi jika mereka menunjukkan itikad baik untuk memperbaiki diri. Dalam dunia yang terus berkembang, mempraktikkan empati dan memberi ruang untuk pertobatan bisa menjadi langkah yang lebih bijak daripada sekadar membatalkan seseorang.(RZ)