Guncangan Fiskal! Pemotongan Triliunan Rupiah Ancam Pembangunan & Layanan Publik Sumut

MEDAN – Pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat pada tahun anggaran 2025 menjadi tantangan yang signifikan bagi Provinsi Sumatera Utara.

Gubernur Sumut mengatakan bahwa alokasi TKD tahun ini awalnya mencapai Rp 5,5 triliun, tetapi pemerintah pusat menguranginya sebesar Rp 1,1 triliun. Daerah mengalami konsekuensi yang signifikan dari kebijakan ini, terutama bagi provinsi seperti Sumatera Utara yang sangat bergantung pada dana transfer pusat.

Lebih dari 50% pendapatan Sumut berasal dari dana transfer pusat, menurut struktur keuangan daerah. Akibatnya, pengurangan alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berdampak langsung pada tingkat pembangunan dan kualitas pelayanan publik di tingkat daerah.

Meskipun begitu pemerintah provinsi harus tetap melaksanakan berbagai program strategis, termasuk pembangunan infrastruktur terintegrasi, peningkatan konektivitas wilayah, dan reformasi pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan.

“Bagi saya pemotongan ini terjadi pada saat yang tidak tepat, ketika wilayah sedang berusaha mempercepat penigkatan ekonomi pasca barunya di lantik kepala daerah di Provinsi serta kabupaten / kota,” ungkap Pemerhati Ekonomi, Muhammad Arif, Minggu (12/10/2025).

Kata Arif lagi, dengan DAK fisik yang berkurang, banyak proyek penting tertunda, seperti pembangunan jalan provinsi, jembatan penghubung antar kabupaten, dan rehabilitasi irigasi, yang merupakan faktor penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian.

Karena pembiayaan yang terbatas, program seperti Program Strategis Daerah (PSD) dan Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang telah direncanakan sebelumnya harus ditunda. Akibatnya, konektivitas antarwilayah terganggu dan pembangunan kembali melambat.

Pengurangan TKD dalam sektor pelayanan publik membatasi ruang fiskal pemerintah daerah.

Hal itu bukan karena pemerintah daerah tidak berkomitmen untuk melakukan perubahan, tetapi karena anggaran yang semakin terbatas.

Ia menjelaskan tampaknya kebijakan pusat ini belum mempertimbangkan kapasitas yang berbeda di antara wilayah, terutama di daerah yang masih dalam proses pembangunan.

“Banyak kabupaten dan kota di Sumatera Utara saat ini menghadapi tantangan fiskal. Setelah alokasi TKD berkurang, mereka pastinya mengalami kesulitan menjaga keseimbangan APBD dengan PAD yang relatif kecil,” tutur Arif.

Pemerintah provinsi juga harus memilih antara menunda pembangunan atau mengambil risiko defisit anggaran.

“Saya percaya bahwa pemerataan tidak boleh dikorbankan untuk mencapai efisiensi nasional. Jika pemerintah pusat ingin mengurangi defisit APBN, harusnya melakukannya dengan cara yang proporsional dan berbasis kinerja daripada menekan daerah yang sedang tumbuh dengan melakukan pemotongan yang tidak proporsional,” papar Arif.

Ia pun yakin Pemerintah Propinsi Sumatera Utara tidak menolak efisiensi; namun, ketika efisiensi diterapkan dengan cara yang membatasi peluang pertumbuhan maka akan berdampak tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus menemukan cara untuk mempertahankan kemandirian fiskal.

“Tentu keadaan ini bisa menjadi momentum untuk meningkatkan daya tahan ekonomi seperti memperkuat peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai motor ekonomi baru dan penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah langkah strategis yang harus terus dilakukan,” tutup Muhammad Arif. (FD)

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com